Tuesday 5 May 2015

Mengenal Lebih Dekat Syariat Islam

Alawy Aly Imron Muhamad pernah mendapat pertanyaan, kenapa dalam Islam banyak sekali ajaran yang membingungkan, kerap terjadi perbedaan pendapat? Bahkan, dalam ritual ibadahnya sendiri ada beberapa yang berbeda, semisal ada yang qunut dan ada juga yang tidak. Serta, tentu masih banyak yang lain. Bukankah dengan “kenyataan” ini, justru menunjukan bahwa Islam itu agama yang sepertinya ambigu;  satunya melarang, satunya membolehkan. Ulamanya tidak satu suara.
                Pertanyaan di atas, jika di-drible-kan kepada Muslim yang awam tentu saja akan menimbulkan kebingungan, bahkan bisa jadi keraguan (tasyrik). Dan sekilas, secara logika Muslim awam tadi yang tidak tahu dengan jelas peta syariat (kecuali hanya mengikuti saja), pertanyaan di atas cukup “mengusik”.
                Namun, benarkah ajaran Islam sepertri itu? Betulkah ia ambigu sebab banyaknya perbedaan pendapat, bahkan mazhab-mazhab khususnya fiqih? Islam mana yang “benar”?
                Sebelum kita masuk pada penjelasan mengenai persoalan ini, ada beberapa hal yang harus kita ketahui bersama, yaitu hendaknya kita kembali mengenal dengan baik syariat yang kita peluk dan kita yakini. Bahwa secara global, ajaran-ajaran dalam syariat Islam terbagi menjadi dua, yaitu, ajaran yang Prinsipiil (ushulliyah) dan parsial (furu’iyyah).
                Hal-hal yang ushuliyyah adalah semisal bahwa Allah adalah Dzat Yang Esa, Muhammad adalah Nabi Terakhir dan tidak ada nabi setelahnya, wajib sholat 5 waktu, wajib puasa Ramadhan, haramnya zina, harammnya minuman keras, dan lain-lain.
                Nah, dalam hal-hal prinsip ini tak boleh terjadi perbedaan antar umat, apapun ideologinya. Sebab, perbedaan prinsip bisa mengeluarkan dari Islam. Contohnya, jika meyakini bahwa ada tuhan selain Allah, masih ada Nabi setelah Nabi Muhammad, atau sholat 5 waktu tak wajib, dan seterusnya. Hall-hal prinsipiil dalam Islam ini sering disebut dengan istilah “ma’lum fid din bid dhoruroh”, sesuatu yang diketahui secara otomatis oleh Muslim paling awam sekalipun.
                Nah, sedangkan wilayah yang selama ini banyak sekali terjadi pebedaan adalah dalam hal-hal parsial (furu’iyyah) saja.  Yang tentu saja tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam. Semisal pebedaan-perbedaan dalam hukum (ada yang bilang boleh, dan ada yang bilang tidak), semisal ada yang qunut dan ada yang tidak. Dan, perbedaan pendapat ini bukanlah hal yang dipahami sebagai sesuatu yang ambigu, tetapi  justru merupakan opsi bagi umat, karena tetap bermuara dari salah satu empat sumber utama; Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak, dan Qiyas.
                Masuk dalam bahasan ini adalah 4 mazhab fiqih cukup kita kenal (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hambali), dari 14 mazhab yang ada di muka bumi ini. Nah, keempat mazhab ini terbentuk dari perbedaan pemahaman dalam hal-hal parsial (furu’iyyah), yang tak ada pengaruh apa pun pada hal-hal prinsip (ushuliyyah) dalam syariat.
                Bahkan, sebenarnya persoalan semacam tawassul, tahlil, maulid, dan segala macam kerap dipandang syirik itu pada dasarnya juga furu’iyyah (parsial), jika yang memperdebatkannya selama ini paham dengan baik permasalahan yang diributkan, melalui perangkat-perangkat teknis syariat semisal Ushul Fiqh dan Qowa’id Fiqhiyyah.
                Nah, karena persoalannya adalah furu’iyyah maka tidak elok jika hal-hal parsial yang tidak ada pengaruh pada akidah/tauhid itu diributkan. Meributkan hal-hal furu’iyyah (dengan menganggapnya sebagai ushuliyyah) menunjukan kebelumpahaman orang itu akan syariat yang agung ini. Menjadi masalah lagi saat ada orang tak mau mengikut salah satu mazhab. Hal ini juga terjadi dari ketidakpahaman soal syariat.
                Sebab, jika ada seseorang mengklaim bahwa dia tidak ikut mazhab mana pun, pada dasarnya mau tidak mau dia tetap akan bermazhab. Lebih parah (dan menujukkan kalau orang itu tidak paham ilmu mantiq) jika mengklaim bahwa mazhabnya adalah mazhab Nabi Muhammad. Karena dengan anggapan ini, justru secara kurang ajar orang itu menurunkan kedudukan Nabi menjadi mujtahid. Sementara mujtahid itu pasti mengalami dua hal, jika tidak salah maka benar (meski keduanya tetap berpahala dengan  klasemen berbeda). Dan Nabi tidak mengalami hal itu (salah), sebab seluruh yang datang dari Nabi adalah kebenaran mutlak karena merupakan wahyu dari Allah.
                Intinya, jika ada Muslim mengaku tidak bermazhab, langsung bilang kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah, sebenarnya dia tetap nyolong mazhab. Bahkan, belajarnya pada guru atau pada buku adalah juga bentuk bermazhab, alhasil, sekali lagi, tak perlu bingung dengan perbedaan dalam hal parsial (furu’iyyah). Sebab, itu justru merupakan opsi dan kebebasan bagi umat untuk memilih pendapat hukum sesuai dengan kondisinya secara pribadi atau juga secara sosial. Dan hal-hal furu’iyyah ini, kita akan menemukan seluruhnya dalam khazanah raksasa Fiqh Aslamy. Silahkan masuk ke museum raksasa itu.  
                                                                                                                           
Sumber : Buku Islam Q&A , DARI JILBOOBS HINGGA NIKAH BEDA AGAMA
Oleh : Alawy Aly Imron Muhamad ,
Alumnus Masyru’ Al-Maliky, Rusyaifah, Makkah (2004-2015)