Alawy Aly Imron Muhamad pernah
mendapat pertanyaan, kenapa dalam Islam banyak sekali ajaran yang
membingungkan, kerap terjadi perbedaan pendapat? Bahkan, dalam ritual ibadahnya
sendiri ada beberapa yang berbeda, semisal ada yang qunut dan ada juga yang
tidak. Serta, tentu masih banyak yang lain. Bukankah dengan “kenyataan” ini,
justru menunjukan bahwa Islam itu agama yang sepertinya ambigu; satunya melarang, satunya membolehkan.
Ulamanya tidak satu suara.
Pertanyaan
di atas, jika di-drible-kan kepada Muslim yang awam tentu saja akan
menimbulkan kebingungan, bahkan bisa jadi keraguan (tasyrik). Dan sekilas,
secara logika Muslim awam tadi yang tidak tahu dengan jelas peta syariat
(kecuali hanya mengikuti saja), pertanyaan di atas cukup “mengusik”.
Namun,
benarkah ajaran Islam sepertri itu? Betulkah ia ambigu sebab banyaknya
perbedaan pendapat, bahkan mazhab-mazhab khususnya fiqih? Islam mana yang
“benar”?
Sebelum
kita masuk pada penjelasan mengenai persoalan ini, ada beberapa hal yang harus
kita ketahui bersama, yaitu hendaknya kita kembali mengenal dengan baik syariat
yang kita peluk dan kita yakini. Bahwa secara global, ajaran-ajaran dalam
syariat Islam terbagi menjadi dua, yaitu, ajaran yang Prinsipiil (ushulliyah)
dan parsial (furu’iyyah).
Hal-hal
yang ushuliyyah adalah semisal bahwa Allah adalah Dzat Yang Esa, Muhammad
adalah Nabi Terakhir dan tidak ada nabi setelahnya, wajib sholat 5 waktu, wajib
puasa Ramadhan, haramnya zina, harammnya minuman keras, dan lain-lain.
Nah,
dalam hal-hal prinsip ini tak boleh terjadi perbedaan antar umat, apapun
ideologinya. Sebab, perbedaan prinsip bisa mengeluarkan dari Islam. Contohnya,
jika meyakini bahwa ada tuhan selain Allah, masih ada Nabi setelah Nabi
Muhammad, atau sholat 5 waktu tak wajib, dan seterusnya. Hall-hal prinsipiil dalam
Islam ini sering disebut dengan istilah “ma’lum fid din bid dhoruroh”,
sesuatu yang diketahui secara otomatis oleh Muslim paling awam sekalipun.
Nah,
sedangkan wilayah yang selama ini banyak sekali terjadi pebedaan adalah dalam
hal-hal parsial (furu’iyyah) saja. Yang tentu saja tidak mengeluarkan pelakunya
dari Islam. Semisal pebedaan-perbedaan dalam hukum (ada yang bilang boleh, dan
ada yang bilang tidak), semisal ada yang qunut dan ada yang tidak. Dan, perbedaan
pendapat ini bukanlah hal yang dipahami sebagai sesuatu yang ambigu,
tetapi justru merupakan opsi bagi umat,
karena tetap bermuara dari salah satu empat sumber utama; Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak,
dan Qiyas.
Masuk
dalam bahasan ini adalah 4 mazhab fiqih cukup kita kenal (Syafi’i, Hanafi,
Maliki, Hambali), dari 14 mazhab yang ada di muka bumi ini. Nah, keempat mazhab
ini terbentuk dari perbedaan pemahaman dalam hal-hal parsial (furu’iyyah),
yang tak ada pengaruh apa pun pada hal-hal prinsip (ushuliyyah) dalam
syariat.
Bahkan,
sebenarnya persoalan semacam tawassul, tahlil, maulid, dan segala macam kerap
dipandang syirik itu pada dasarnya juga furu’iyyah (parsial), jika yang
memperdebatkannya selama ini paham dengan baik permasalahan yang diributkan,
melalui perangkat-perangkat teknis syariat semisal Ushul Fiqh dan Qowa’id
Fiqhiyyah.
Nah,
karena persoalannya adalah furu’iyyah maka tidak elok jika hal-hal
parsial yang tidak ada pengaruh pada akidah/tauhid itu diributkan. Meributkan
hal-hal furu’iyyah (dengan menganggapnya sebagai ushuliyyah)
menunjukan kebelumpahaman orang itu akan syariat yang agung ini. Menjadi
masalah lagi saat ada orang tak mau mengikut salah satu mazhab. Hal ini juga
terjadi dari ketidakpahaman soal syariat.
Sebab,
jika ada seseorang mengklaim bahwa dia tidak ikut mazhab mana pun, pada
dasarnya mau tidak mau dia tetap akan bermazhab. Lebih parah (dan menujukkan
kalau orang itu tidak paham ilmu mantiq) jika mengklaim bahwa mazhabnya adalah
mazhab Nabi Muhammad. Karena dengan anggapan ini, justru secara kurang ajar
orang itu menurunkan kedudukan Nabi menjadi mujtahid. Sementara mujtahid itu
pasti mengalami dua hal, jika tidak salah maka benar (meski keduanya tetap
berpahala dengan klasemen berbeda). Dan
Nabi tidak mengalami hal itu (salah), sebab seluruh yang datang dari Nabi
adalah kebenaran mutlak karena merupakan wahyu dari Allah.
Intinya,
jika ada Muslim mengaku tidak bermazhab, langsung bilang kembali ke Al-Qur’an
dan Sunnah, sebenarnya dia tetap nyolong mazhab. Bahkan, belajarnya pada guru
atau pada buku adalah juga bentuk bermazhab, alhasil, sekali lagi, tak perlu
bingung dengan perbedaan dalam hal parsial (furu’iyyah). Sebab, itu
justru merupakan opsi dan kebebasan bagi umat untuk memilih pendapat hukum
sesuai dengan kondisinya secara pribadi atau juga secara sosial. Dan hal-hal furu’iyyah
ini, kita akan menemukan seluruhnya dalam khazanah raksasa Fiqh Aslamy.
Silahkan masuk ke museum raksasa itu.
Sumber : Buku Islam Q&A , DARI JILBOOBS HINGGA NIKAH
BEDA AGAMA
Oleh : Alawy Aly Imron Muhamad ,
Alumnus Masyru’
Al-Maliky, Rusyaifah, Makkah (2004-2015)